Rabu, 14 Oktober 2015

Kita di Jatiluhur

Tidur berteman sepi di hutan, membayangkan pun belum pernah.
Memang saya suka menjelajah dan naik gunung yang mengharuskan saya tidur di hutan, tapi ada temannya.
Nyatanya, tidur berteman sepi benar-benar saya realisasikan saat saya mengikuti kegiatan outbound yang diadakan oleh kantor.

Malam itu, mulai pukul 21.00 saya ditinggal sendirian di tengah hutan.
Dipisahkan jarak puluhan hingga ratusan meter dengan rekan-rekan yang lain.
Dengan hanya dibekali jas hujan, lilin, kayu, air putih, buah pisang, 1 bungkus snack dan tikar, saya ditinggalkan sendirian.
Jas hujan dan kayu berguna untuk membuat bivak yang dapat sedikit melindungi dari hembusan angin dan juga (jika) hujan.
Lilin tentunya untuk sumber penerangan. dan cemilan lain sebagai logistik kecil.
Sayapun tersadar bahwa kami diberikan selembar kertas kosong dan pensil.
Ya, malam itu kami diinstruksikan untuk melakukan Solo Night, dimana kami semua akan ditinggal di hutan untuk istirahat dan merenung semalaman suntuk.
Merefleksikan tentang diri kita, tentang kegiatan selama outbound, dan tentang apapun.
Kertas itu, ya, untuk mengungkapkan apa saja yang telah direfleksikan.

Malam itu saya belum menyalakan lilin, dan tersadar bahwa bulan sedang bersinar penuh.
"Pantas terang sekali" gumamku.
Dengan keadaan yang sunyi dan bulan yang menantangkan sinarnya, jiwa melankolis dalam diri mulai keluar.
Entah kenapa, saya tidak berpikir, tidak membuat, hanya apa yang terlintas di otak, langsung saya tuliskan di kertas kosong itu.
Hanya butuh waktu kurang dari 5 menit untuk menuliskan, saya menyebutnya "karangan bebas".
Karangan bebas yang saya beri tajuk :

Kita di Jatiluhur
Pantulan surya dan kibasan kabut di kolam itu  
Hangat sekali menyapa ramah untuk pertama
Gulungan angin dan hijaunya rumput jadi rumah nyaman untuk berdiskusi
Sore itu kami dikumpulkan dan memulai kelas alam ini

Tangan yang bekerja untuk merangkak mengais sumber hidup
Semangat seolah membara di tengah dinginnya Waduk Jatiluhur
Entah apa yang terjadi bila tungganganku terbalik dan aku tenggelam di bak raksasa ini
Tapi sudahlah, toh aku punya selusin keluarga yang tidak akan diam saja bila hal itu terjadi
Memang, makan yang paling enak adalah saat lapar, saat harus berusaha merebutnya, dan saat bersama keluarga

Kaki kita juga seolah kebal dan tebal untuk maju terus
Nafas kita seolah tiada habis dan sesak
Bahu kitapun seolah kuat untuk mengangkat tas kecil 50an liter itu

Tidak perduli seberapa jauh kita maju
Tapi kita butuh arah, keluargaku
Kita juga butuh berpegangan tangan dan saling mengusap peluh, keluargaku
Kita harus terus maju, dengan yakin, tidak henti dan bersama selalu
Coret-coretan kertas bebas malam itu

Rekan!!

AGP5!!