Senin, 27 Oktober 2014

Sudah Siapkah ketika Orangtua Kita Berkata Jujur?

Sekitar 3 atau 4 hari yang lalu.
Pacar saya forward cerpek (cerita pendek) via Line.
Kebetulan topiknya bagus bgt dan memang banyak terjadi di sekitar saya.

Kebetulan cerpek ini saya baca sewaktu saya masih di kantor dan gak sadar mata saya berkaca2 sewaktu membaca cerpek ini.
Karena saya merasa saya sedang memasuki fase seperti ini dimana saya harus jauh dari orang tua, terutama mama saya dan yang saya takutkan adalah saya terlalu sibuk dengan kegiatan saya sehingga melupakan orang tua saya.

Tidak ada salahnya meluangkan waktu sekitar 5 menit untuk membaca :


"Mengutip dari mas Fandi

Sudah Siapkah ketika Orangtua Kita Berkata Jujur?

Kemarin lalu, saya bertakziah mengunjungi salah seorang kerabat yang sepuh. Umurnya sudah 93 tahun. 
Beliau adalah veteran perang kemerdekaan, seorang pejuang yang shalih serta pekerja keras. 
Kebiasaan beliau yang begitu hebat di usia yang memasuki 93 tahun ini, beliau tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di masjid untuk Maghrib, Isya dan Shubuh.

Qadarallah, beliau mulai menua dan tidak mampu bangun dari tempat tidurnya sejak dua bulan lalu. 
Sekarang beliau hanya terbaring di rumah dengan ditemani anak-anak beliau. 
Kesadarannya mulai menghilang. Beliau mulai hidup di fase antara dunia nyata dan impian. 
Sering menggigau dan berkata dalam tidur, kesehariannya dihabiskan dalam kondisi tidur dan kepayahan.
Anak-anak beliau diajari dengan cukup baik oleh sang ayah. 
Mereka terjaga ibadahnya, berpenghasilan lumayan, dan akrab serta dekat. 
Ketika sang ayah sakit, mereka pun bergantian menjaganya demi berbakti kepada orangtua.

Namun ada beberapa kisah yang mengiris hati; kejadian jujur dan polos yang terjadi dan saya tuturkan kembali agar kita bisa mengambil ibrah.

Terkisah, suatu hari di malam lebaran, sang ayah dibawa ke rumah sakit karena menderita sesak nafas. 
Malam itu, sang anak yang kerja di luar kota dan baru saja sampai bersikeras menjaga sang ayah di kamar sendirian. 
Beliau duduk di bangku sebelah ranjang. Tengah malam, beliau dikejutkan dengan pertanyaan sang ayah,

"Apa kabar, pak Rahman? Mengapa beliau tidak mengunjungi saya yang sedang sakit?" tanya sang ayah dalam igauannya.Sang anak menjawab, "Pak Rahman sakit juga, Ayah. Beliau tidak mampu bangun dari tidurnya." Dia mengenal Pak Rahman sebagai salah seorang jamaah tetap di masjid."Oh...lalu, kamu siapa? Anak Pak Rahman, ya?" tanya ayahnya kembali."Bukan, Ayah. Ini saya, Zaid, anak ayah ke tiga.""Ah, mana mungkin engkau Zaid? Zaid itu sibuk! Saya bayar pun, dia tidak mungkin mau menunggu saya di sini. Dalam pikirannya, kehadirannya cukup digantikan dengan uang," ucap sang ayah masih dalam keadaan setengah sadar.
Sang anak tidak dapat berkata apa-apa lagi. 
Air mata menetes dan emosinya terguncang. 
Zaid sejatinya adalah seorang anak yang begitu peduli dengan orangtua. 
Sayangnya, beliau kerja di luar kota. Jadi, bila dalam keadaan sakit yang tidak begitu berat, biasanya dia menunda kepulangan dan memilih membantu dengan mengirimkan dana saja kepada ibunya. 
Paling yang bisa dilakukan adalah menelepon ibu dan ayah serta menanyakan kabarnya. Tidak pernah disangka, keputusannya itu menimbulkan bekas dalam hati sang ayah.

Kali yang lain, sang ayah di tengah malam batuk-batuk hebat. 
Sang anak berusaha membantu sang ayah dengan mengoleskan minyak angin di dadanya sembari memijit lembut. 
Namun, dengan segera, tangan sang anak ditepis.

"Ini bukan tangan istriku. Mana istriku?" tanya sang ayah."Ini kami, Yah. Anakmu." jawab anak-anak."Tangan kalian kasar dan keras. Pindahkan tangan kalian! Mana ibu kalian? Biarkan ibu berada di sampingku. Kalian selesaikan saja kesibukan kalian seperti yang lalu-lalu."
Dua bulan yang lalu, sebelum ayah jatuh sakit, tidak pernah sekalipun ayah mengeluh dan berkata seperti itu. Bila sang anak ditanyakan kapan pulang dan sang anak berkata sibuk dengan pekerjaannya, sang ayah hanya menjawab dengan jawaban yang sama.
"Pulanglah kapan engkau tidak sibuk."

Lalu, beliau melakukan aktivitas seperti biasa lagi. Bekerja, shalat berjamaah, pergi ke pasar, bersepeda. Sendiri. Benar-benar sendiri. Mungkin beliau kesepian, puluhan tahun lamanya. 
Namun, beliau tidak mau mengakuinya di depan anak-anaknya.
Mungkin beliau butuh hiburan dan canda tawa yang akrab selayak dulu, namun sang anak mulai tumbuh dewasa dan sibuk dengan keluarganya.
Mungkin beliau ingin menggenggam tangan seorang bocah kecil yang dipangkunya dulu, 50-60 tahun lalu sembari dibawa kepasar untuk sekadar dibelikan kerupuk dan kembali pulang dengan senyum lebar karena hadiah kerupuk tersebut. 
Namun, bocah itu sekarang telah menjelma menjadi seorang pengusaha, guru, karyawan perusahaan; yang seolah tidak pernah merasa senang bila diajak oleh beliau ke pasar selayak dulu. 
Bocah-bocah yang sering berkata, "Saya sibuk...saya sibuk. Anak saya begini, istri saya begini, pekerjaan saya begini." 
Lalu berharap sang ayah berkata, 
"Baiklah, ayah mengerti."


Kemarin siang, saya sempat meneteskan air mata ketika mendengar penuturan dari sang anak. Karena mungkin saya seperti sang anak tersebut; merasa sudah memberi perhatian lebih, sudah menjadi anak yang berbakti, membanggakan orangtua, namun siapa yang menyangka semua rasa itu ternyata tidak sesuai dengan prasangka orangtua kita yang paling jujur.

Maka sudah seharusnya, kita, ya kita ini, yang sudah menikah, berkeluarga, memiliki anak, mampu melihat ayah dan ibu kita bukan sebagai sosok yang hanya butuh dibantu dengan sejumlah uang. Karena bila itu yang kita pikirkan, apa beda ayah dan ibu kita dengan karyawan perusahaan?

Bukan juga sebagai sosok yang hanya butuh diberikan baju baru dan dikunjungi setahun dua kali, karena bila itu yang kita pikirkan, apa bedanya ayah dan ibu kita dengan panitia shalat Idul Fitri dan Idul 'Adha yang kita temui setahun dua kali?

Wahai yang arif, yang budiman, yang penyayang dan begitu lembut hatinya dengan cinta kepada anak-anak dan keluarga, lihat dan pandangilah ibu dan ayahmu di hari tua. 
Pandangi mereka dengan pandangan kanak-kanak kita. 
Buang jabatan dan gelar serta pekerjaan kita. 
Orangtua tidak mencintai kita karena itu semua. 
Tatapilah mereka kembali dengan tatapan seorang anak yang dulu selalu bertanya dipagi hari, 
"Ke mana ayah, Bu? Ke mana ibu, Ayah?"
Lalu menangis kencang setiap kali ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.

Wahai yang menangis kencang ketika kecil karena takut ditinggalkan ayah dan ibu, apakah engkau tidak melihat dan peduli dengan tangisan kencang di hati ayah dan ibu kita karena diri telah meninggalkan beliau bertahun-tahun dan hanya berkunjung setahun dua kali?

Sadarlah wahai jiwa-jiwa yang terlupa akan kasih sayang orangtua kita. 
Karena boleh jadi, ayah dan ibu kita, benar-benar telah menahan kerinduan puluhan tahun kepada sosok jiwa kanak-kanak kita; yang selalu berharap berjumpa dengan beliau tanpa jeda, tanpa alasan sibuk kerja, tanpa alasan tiada waktu karena mengejar prestasi.

Bersiaplah dari sekarang, agar kelak, ketika sang ayah dan ibu berkata jujur tentang kita dalam igauannya, beliau mengakui, kita memang layak menjadi jiwa yang diharapkan kedatangannya kapan pun juga..

* sharing dari seorang Ustadz..

Semoga menjadi bahan renungan bagi kita semua.."

Sudah Siapkah ketika Orangtua Kita Berkata Jujur?

Minggu, 19 Oktober 2014

Kubur ambisi dan ego, gantungkan cita-cita dan harapan

Sudah genap 3 minggu saya memulai perantauan di ibukota Indonesia.
Kota yang katanya tempat merajut mimpi.
Kota yang nyatanya sudah dilabeli sebagai "Kota tidak layak huni"

Seperti tulisan sebelumnya :
"Selalu ada yang baru"
Kalau skr saya masuk dalam fase "penyesuaian" dimana saya harus mulai untuk membiasakan dengan lingkungan baru, tanggung jawab baru dan kehidupan baru yang sepenuhnya berbeda dengan kehidupan kuliah yang sampai skr msh saya anggap sebagai fase terbahagia dalam hidup saya.

Setelah menjalani fase "penyesuaian" selama 3 minggu, byk sekali pelajaran dan hal baru yg bisa saya ambil, terutama yang berhubungan dengan pandangan hidup dan orientasi dalam bekerja.


Sewaktu masih berstatus sebagai job seeker, ambisi saya untuk bekerja adalah :
1. Bekerja di multinational company, terutama di FMCG atau Oil Services company atau Consultant Firm.
2. Mendapatkan job desc di bagian marketing, consultant atau business analyst.
3. Mendapatkan high level salary
4. Mendapatkan suasana kerja yang dinamis, yang serba cepat. Bukan lingkungan kerja yang monoton dan statis.

Itu adalah ambisi saya dengan pandangan saya sebagai anak ingusan yang masih cari2 kerja.
Alhamdulillah saya mendapatkan kerja yang mencakup 3 aspek dari ambisi saya kecuali ambisi nomor 2 dan 3.
Karena pada kenyataannya saya masuk di multinational IT Consultant firm dengan jabatan Junior Associate Programmer, yang secara hierarki adalah level 12 dari 13 level yg ada di kantor saya. Itu menunjukkan saya adalah jongos di perusahaan saya hehe.
Dan jabatan saya mengharuskan saya masih hrs bersabar untuk bisa mendapatkan titel "konsultan".
Dan masalah salary, hahaha ini selalu membuat saya ketawa. Karena teman2 saya selalu beranggapan bahwa gaji saya gede, bahkan sampai dikira 2 digit di dpn, pdahal salah total. Gaji saya bahkan tidak lbh besar dari gaji temen2 saya yang kerja di A*tra Group, seriously.

Dan yang saya syukuri adalah karena di kantor saya skr saya bisa belajar banyaaak sekali hal baru, mulai dari operasional IT yang dari dulu sebenernya saya benci. Saya termasuk orang yg gaptek, dan kerjaan saya skr? konsultan IT. What a silliest irony !!
Dan saya juga benar2 mendapatkan lingkungan kerja yang dinamis, dimana orang2nya workaholic abis! operasional kantor pulangnya adalah jam 5 sore, tapi rata2 pada pulang jam7-8 malam hehe.
Benar2 dinamis, dimana kita byk sekali diskusi untuk solve problems dan merancang hal baru.
Walaupun di awal2 saya kesulitan beradaptasi dilingkungan kerja saya, tp skr saya mulai bs menikmati.
Oleh karenanya, 2 aspek ambisi yang blm bisa saya dapatkan tersebut, tidak sberapa saya pusingkan. Karena masih byk hal menyenangkan yang bisa saya dapat.

Dan pembelajaran yang paling bisa saya dapatkan adalah :
"Sehebat apapun kita semasa kuliah, sebesar apapun ambisi kita sewaktu kuliah, sekritis apapun kita sewaktu kuliah, tapi jika memang jalanmu adalah untuk menjadi seorang profesional dan eksekutif di perusahaan, jangan harap bisa langsung menjadi someone important.
Everyone should starts they step from the bottom level. If you want to start your career at the high level directly, just pray a lot dude"

 Jangan kaget kalo byk sekali hal baru yang bakal ditemui di dunia kerja yang beda sekali sama dunia mahasiswa, saya termasuk orang yg beruntung karena bekerja di lingkungan konsultan yang sedikit cuek terhadap hierarki dan memegang prinsip semua sama, yang membedakan hanyalah ide dan prestasi kerja. Dan juga lingkungan konsultan yang dinamis, mengingatkan saya terhadap kehidupan organisasi kampus yang pasti menghadapi sesuatu yang baru di tiap harinya.

Saya tidak menyarankan kamu buat jadi pribadi yang pesimis, skeptis dan apa adanya. Saya cuma menyarakan :

"Kubur ambisi dan ego, gantungkan cita-cita dan harapan"

Kamis, 02 Oktober 2014

Selalu ada yang baru

Selalu ada yang baru.
Selalu ada yang baru di setiap fase kehidupan kita.

Kita lulus TK, masuk ke SD.
Kita lulus SD, masuk ke SMP.
Kita lulus SMP, masuk ke SMA.
Kita lulus SMA, masuk kuliah.
Kita lulus kuliah, masuk kerja.
Kita purna kerja, masuk ke panti jompo.

Semua fase kehidupan berjenjang itu (Insya Allah) pasti kita lewati.
Dan di setiap fase itu, ada 3 hal yang pasti kita hadapi.
Pertemuan.
Perpisahan.
Penyesuaian.

Pertemuan dengan orang baru, dengan kondisi baru, dengan suasana baru, dengan tanggung jawab baru.
Perpisahan dengan orang lama, dengan kondisi lama, dengan suasan lama, dengan tanggung jawab lama.
Penyesuan dengan pertemuan dan perpisahan itu.

Dan ini yang sedang saya hadapi sekarang.
Alhamdulillah sdh purna kuliah dan wisuda di kampus perjuangan, ITS Surabaya, tanggal 14 September.
Saya dihadapkan pada rezeki dan mungkin jalan hidup bahwa tanggal 1 September saya sdh harus pny tanggung jawab baru sebagai kuli pikir di suatu perusahaan konsultan bisnis di Jakarta.

Bertemu dgn orang baru.
Kondisi baru.
Suasana baru.
Tanggung jawab baru.
Fase ini dinamakan Pertemuan.

Dan otomatis saya harus meninggalkan semua yang ada di Surabaya.
Fase ini dinamakan Perpisahan.

Aktualisasi sekarang adalah fase Penyesuaian.
Masih sering sekali terbayang dengan suasana kota Surabaya.
Tapi harus ditahan.

Semoga memang ini jalan terbaik ya.
Semoga berkarir di kota Jakarta dan perusahaan konsultan ini memang jalan terbaik ya.
Memang..
Selalu ada yang baru.